Saturday, July 18, 2009

Menggugat kembali Estetika tradisional

Budi Pradono

Pada abad ke 18 Immanel Kant mempertanyakan tentang konsep tunggal keindahan. Dia memberikan saran lain tentang konsep beauty selain dari  goodness yang lebih dari hal-hal yang bersifat alamiah yaitu sublime, menurut Kant, sublime ada dalam beauty dan begitu juga sebaliknya keindahan ada dalam sublime. Bentuk negatif dari sublime adalah Grotesque (distorsi / buruk).

Grotesque berkaitan dengan substansi kenyataan, dengan manifestasi dari ketidak jelasan fisik. Sejak arsitektur merupakan pemikiran yang berhubungan dengan hal-hal fisik, jadi Grotesquesudah ada di dalam arsitektur. Grotesque juga diterima dalam dekorasi. Hal ini disebabkanGrotesque memperkenalkan ide tentang keburukan (the ugly) dan deformasi (deformed), yang tidak alamiah yang selalu hadir dalam keindahan. Hal ini dapat kita lihat dalam banyak contoh terutama dalam fashion architecture terkini. Menurut Eisenman di perlukan sebuah proses daripada sekedar intuisi, desain yang intuitif tidak akan pernah dapat menciptakan ketidakpastian (uncertainty), hanya yang terbaik dari sebuah ilusi uncertainty.

Definisi dari grotesque mungkin bisa dikategorikan misterius karena dapat di konseptualisasikan dan di imajinasikan tapi tidak dapat di dirancang. Dalam ide tradisional desain arsitektur bentuk, fungsi, struktur, dan site dapat dikatakan sebagai teks, tetapi mereka bukanlah tekstual. Teks selalu dipikirkan sebagai sesuatu yang utama (primary) atau sumber yang original atau asli, sementara tekstual / tekstualitas adalah aspek dari teks yang merupakan kondisi dari yang lain atau yang secondary. Sebuah contoh dari kondisi otherness adalah trace. Jika arsitektur adalah kehadiran - metaphor seperti rumah dan tempat tinggal : batu bata dan semen, fondasi dan atap, membuktikan perannya untuk mendefinisikan apa yang kita lihat sebagai kenyataan. Sangat jelas perubahan pada konsep kehidupan kesehariaan harus memiliki efek pada arsitektur.

Hal ini tidak dikarenakan paradigma mekanika, dulunya The Sine Qua Non dari Arsitektur. Arsitektur adalah manivestasi yang paling visible dari tekanan alam seperti gravitasi dan cuaca dengan metode mekanika. Arsitektur tidak saja menunjukkan grafitasi, akan tetapi juga monumen masa depan, yang diinterpretasikan oleh nilai-nilai dari masyarakat yang ditempatkan pada visinya.

Konsep tradisional dari Sight (kemampuan untuk melihat / dilihat Arsitektur) pada paradigma elektronik dipertanyakan. Media telah memperkenalkan ambiguitas yang fundamental dalam bagaimana & apa yang kita lihat. Shight adalah pemahaman tradisional dari Visi. Visi berarti juga karakteristik yang khas dari shight yang mengandung arti melihat untuk berpikir (seeing to thinking), mata pada pikiran. materialitas,batu bata dan semen – kemudian yang lainnya adalah trace dari kehadiran yang absensia. Trace tidak pernah dapat originalkarena trace selalu menyarankan kemungkinkan dari sesuatu yang lain daripada yang asli. Dalam semua text ada potensi trace dari otherness, aspek dari struktur yang dikekang oleh kehadiran (presence). Jika kehadiran tetap dominan contohnya : singular tidak ada textualitas. Oleh karena itu kondisi seperti di atas dari trace membutuhkan paling tidak dua teks (two texts). Aspek kedua dari arsitektur yang lain adalah sesuatu yang bisa disebut twoness. Ada banyaktwoness yang exis di dalam arsitektur tradisional; The twoness dari bentuk (form) dan fungsi (function), kemudian twoness dari struktur dan ornamen. Tetapi itu terlihat secara tradisional sebagai kategori yang hirarkis; satu selalu terlihat dominan atau original dan yang lain sebagai secondary (form follows function, ornament is added to structure) twoness memberikan saran sebuah kondisi di mana tidak ada dominasi tak lebih sebagai sebuah struktur yang ekuivalen. Di mana ada ketidakpastian daripada hirarki, jika salah satu text terlihat dominan tidak ada perpindahan. Kondisi dari ketiga dari arsitektur adalah di antara (betweness), yang menunjukkan obyek sebagai sebuah image yang lemah.

Apapun stylenya, space / ruang adalah terdiri dari sebuah bangunan yang dipahami, teroganisir oleh elemen-elemen spasial seperti axis, tempat (place), symetris, dan lain lain.

Perspektif sesuatu yang fatal di dalam arsitektur dibandingkan dengan melukis karena kebutuhan-kebutuhan yang hakiki pada mata & tubuh untuk mengorientasikan dirinya dalam ruang arsitektural melalui proses perspektif yang rasional. Perspektif menjadi alat,anthropocentric di mana pandangan mengkristal dalam arsitektur.

Bru Projection system dari Brunelleschi’s dalam essay berjudul Scopic Regimes Of Modernity Martin Jay mencatat bahwa : “…Baroque visual experience has a strongly tactile or haptic quality, which prevents it from turning into the absolute ocular centrism of its Cartesian perspectivalist rival.”

Norman Bryson dalam artikelnya “The Gaze in the Expanded Field.” Memperkenalkan ide tentang gaze (le regard) untuk melihat ke belakang pada yang lain. Boleh dikatakan bahwa arsitektur tidak pernah puas melalui problematika tentang visi karena tetap di dalam konsep subyek & keempat dinding arsitektur, tidak seperti disiplin lainnya, mengkongkretkan visi. Hirarki yang inheren dalam ruang arsitektural dimulai sebagai sebuah struktur untuk mata pemikiran.

Hal ini mungkin ide dari interioritas sebagai sebuah hirarki antara dalam dan luar menyebabkan arsitektur mengkonsepsikan dirinya lebih nyaman dan konservatif dalam visi.

Visi dapat didefinisikan sebagai suatu jalan yang essensial untuk mengorganisir ruang dan elemen-elemen di dalam ruang. Ini adalah jalan untuk melihat kepada dan mendefinisikan hubungan antara sebuah subyek & sebuah obyek. Jadi jika kita asumsikan saat ini arsitektur dapat dikonsepkan sebagai sebuah Moebius strip, dengan kontinuitas yang tidak terputus antara interior dan exterior. Apa artinya ini untuk visi? Gilles Deleuze mengusulkan sesuatu yang mungkin dari kontinuitas dengan idenya tentang lipatan (fold). Bagi Deleuze, ruang yang terlipat mengartikulasikan sebuah hubungan baru antara vertikal horizontalfigure dan groundinsidedan out – semua struktur diartikulasikan dengan vision tradisional. Tidak seperti ruang pada visi klasik (classical vision), ide dari lipatan ruang (folded space) membohongi susunan dalam keteraturan modulasi temporal (temporal modulation). Lipatan tidak lagi privileges mendapatkan keistimewaan pada proyeksi planimetrik (planimetric projection), sebagai alternatif adalah suatuvariable curvature, idea Deluze tentang lipatan (folding) lebih radikal daripada origami, karena tidak mengandung naratif, linear sequence; seperti pada visi tradisional, lipatan ini mengandung sebuah kualitas yang tidak terlihat.

Lipatan telah merubah visi tradisional tentang ruang, Dapat dikatakan efektif, fungsinya, menaunginya, sangat berarti, membingkaikan, dan itu adalah keindahan (aesthetic). Folding juga terdiri dari sebuah gerakan dari ruang effektif ke ruang Affektif. Folding bukan subyek lain dari expresionisme, suatu pencampuran, tetapi unfolds di dalam dan berdampingan dengan fungsi-fungsinya sekaligus di dalam ruang.

Study kasus1:

Perancangan Monumen Lonsum, Sei Merah, Medan, 2007
Geometry yang ditawarkan adalah lipatan (folding) dari sebuah media yang datar seperti kertas. Lipatan-lipatan tersebut merupakan transformasi dari diagram historis sejak berdirinya perusahaan tersebut hingga seratus tahun. Distribusi programming ke dalam seluruh bidang yang diartikulasikan secara menyeluruh menghasilkan twoness baik dari sisi fungsi dan bentuk (form).



Lipatan-lipatan yang kemudian menjulang menegaskan adanya grotexque dalam lingkungan alam, hal ini menghasilkan kontras dengan lingkungan di sekitarnya, sebagai obyek arsitektur monumen, kekontrasan dengan alam ini memberikan efek pengejut (surprised) bagi orang yang akan mengunjungi monumen ini.

               Dari hasil survey lokasi di kawasan perkebunan kelapa sawit di Sei Merah menunjukkan banyak sekali anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan yang memadai sehingga ide rancangan monumen ini secara visi fungsionalnya diarahkan menjadi edukatorium bagi kawasan botanical garden. Gubahan geometrinya pertama kali dilakukan dengan pembacaan formasi pepohonan di area perkebunan terutama di site yang spesifik, sehingga ditemukan grid kelapa sawit berdimensi sebelas meter kali sebelas meter, dari hasil pembacaan ini kita bisa mendapatkan beberapa garis - garis baru yang tidak bersinggungan dengan grid dari site. Atau boleh dikatakan garis-garis imaginer penetralisir pola dasar dari suatu site. Transformasi program dan diagram menjadikan arsitektur menawarkan berbagai pengalaman ruang yang spesifik pada akhirnya bangunan ini tidak sekedar hanya sebagai tugu peringatan tetapi sebagai alat (device) bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Ruang publik yang didesain untuk mampu menampung berbagai kegiatan edukasi petualangan (adventure education), pendidikan lingkungan (environment education). Arsitektur hijau dalam proyek ini yang sesungguhnya ditunjukkan dari programnya yang tanggap pada situasi sosial masyarakat setempat, sehingga kebutuhan pendidikan pada masyarakat sekitarnya dapat ditampung dalam rancangan monumen experimental ini. Lipatan-lipatan yang kemudian muncul digabungkan dengan beberapa program yang disebarkan ke seluruh monumen, kemudian menghasilkan ruang-ruang publik dengan kualitas yang bermacam-macam. Dengan perencanaan kawasan yang mengarah pada eco-planning, sekaligus bangunan monumen dengan atap yang hampir seluruhnya diselimuti rumput (roof garden). Lingkaran terluar dari kawasan ini dalam perencanaannya dibuat sekumpulan tanaman bunga yang dapat menarik perhatian bagi tenaman pemakan pohon sawit. Jadi interpretasi dari ecological friendly ditunjukan dengan consep diversifikasi tanaman yang saling menguntungkan.


           Dari tulisan di atas dapat dikatakan bahwa aspek sosial budaya di lingkungan setempat memiliki andil yang besar dalam menentukan tipe dan sistem material yang digunakan. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi para arsitek, sekaligus kepedulian pada hal-hal yang remeh di sekitar kita. Lokalitas dari suatu tempat, baik kepandaian, material, cuaca dan keadaan lingkungan sosialnya harus menjadi aset yang spesifik dalam mengajukan desain yang baik.

Study kasus 2: Perancangan Rumah Kindah Office, Lenteng Agung Jakarta. (2007 – 2008)

Strategi lipatan (folding) dari bentuk site yang spesifik dan dikombinasikan dengan sobekan ternyata tanpa disadari juga mengandung twoness struktur dan ornamen. Sobekan-sobekan yang kemudian diartikulasikan sebagai jendela kaca merupakan ornamen yang melekat pada strukturnya. Meskipun hal ini tidak disadari sejak awal saat melakukan proses mendesain.

Kantor ini dirancang agar pada masa depan menjadi salah satu kantor paperless (tanpa kertas) di Jakarta, meskipun luas lahannya tidak terlalu luas sekitar 500 m2. Kebutuhan program fungsional dari klien disusun dan dihitung secara tiga dimensional, kira-kira membutuhkan 1860 m3 volume ruang, sehingga dari sini kita dengan mudah dapat menyusun seluruh program fungsionalnya secara tiga dimensional tanpa pernah terbelenggu oleh aspek dua dimensional ruangnya. Proses perancangannya dilakukan dengan melakukan proses melipat kertas seukuran site, dengan mengacu kepada garis-garis yang ada di dalam site. Namun kita mencoba memaksimalkan lahan tersebut, pada sisi depan / arah barat bangunan ini selain terletak jalan raya depok juga rel kereta api yang menghubungkan antara Jakarta Selatan dan Universitas Indonesia di wilayah yang lebih suburban sehingga kemacetan kendaraan dan kebisingan mobil dan kereta api berlangsung pada setiap pagi dan sore bersamaan dengan jam kerja kantor maupun kuliah. Untuk itu bangunan ini dirancang sangat spesifik mengantisipasi kebisingan ini, dengan metode lipatan kertas dari ukuran sitenya. Bangunan kantor ini dibuat introvert, dan lebih terbuka kearah dalam seperti courtyard. Ruangan-ruangan dengan computer diantisipasi untuk dibuat tertutup sisanya dibuat terbuka ke arah dalam sehingga bangunan ini menerapkan efisiensi penggunaan cahaya, karena setiap siang hari hampir semuanya tidak memerlukan lampu, dan hanya area dengan komputer saja yang tertutup yang menggunakan AC. Dinding dari material beton yang tebal dengan insulasi di dalamnya sekaligus menjadi sound barrier dalam mengantisipasi kebisingan.


No comments:

Post a Comment