Saturday, July 18, 2009

Serpentine Gallery London 2009 by SANAA

Serpentine Gallery Pavilion

Serpentine Gallery Pavilion dilahirkan oleh Julia Peyton-Jones pada tahun 2000, ini adalah program yang masih terus masih dijalankan sebagai sebuah program pembangunan struktur temporer (temporary structure) yang dirancang oleh arsitek-arsitek maupun designer dunia.  Program ini sangat unik dimana pada saat diundang belum pernah menyelesakian satu bangunanpun di Inggris. Arsitek paviliun –paviliun itu adalah: Frank Gehry, 2008; Olafur Eliasson dan Kjetil Thorsen, 2007; Rem Koolhaas dan Cecil Balmond, bersama Arup, 2006; Álvaro Siza & Eduardo Souto de Moura with Cecil Balmond, Arup, 2005; MVRDV bersama Arup, 2004 (tidak terealisir); Oscar Niemeyer, 2003; Toyo Ito with Arup, 2002; Daniel Libeskind dengan Arup, 2001; dan Zaha Hadid, tahun 2000. Setiap paviliun itu dibangun di taman selama 3 – 6 bulan. 

serpentine-galley-pavilion-by-sanaa-3-1.jpg

serpentine-galley-pavilion-by-sanaa-3-6.jpg

Serpentine Gallery 2009 dirancang oleh SANAA, Kazuyo Sejima dan Ryue Nishisawa, pasangan arsitek Jepang

serpentine-galley-pavilion-by-sanaa-3-3.jpg


Menggugat kembali Estetika tradisional

Budi Pradono

Pada abad ke 18 Immanel Kant mempertanyakan tentang konsep tunggal keindahan. Dia memberikan saran lain tentang konsep beauty selain dari  goodness yang lebih dari hal-hal yang bersifat alamiah yaitu sublime, menurut Kant, sublime ada dalam beauty dan begitu juga sebaliknya keindahan ada dalam sublime. Bentuk negatif dari sublime adalah Grotesque (distorsi / buruk).

Grotesque berkaitan dengan substansi kenyataan, dengan manifestasi dari ketidak jelasan fisik. Sejak arsitektur merupakan pemikiran yang berhubungan dengan hal-hal fisik, jadi Grotesquesudah ada di dalam arsitektur. Grotesque juga diterima dalam dekorasi. Hal ini disebabkanGrotesque memperkenalkan ide tentang keburukan (the ugly) dan deformasi (deformed), yang tidak alamiah yang selalu hadir dalam keindahan. Hal ini dapat kita lihat dalam banyak contoh terutama dalam fashion architecture terkini. Menurut Eisenman di perlukan sebuah proses daripada sekedar intuisi, desain yang intuitif tidak akan pernah dapat menciptakan ketidakpastian (uncertainty), hanya yang terbaik dari sebuah ilusi uncertainty.

Definisi dari grotesque mungkin bisa dikategorikan misterius karena dapat di konseptualisasikan dan di imajinasikan tapi tidak dapat di dirancang. Dalam ide tradisional desain arsitektur bentuk, fungsi, struktur, dan site dapat dikatakan sebagai teks, tetapi mereka bukanlah tekstual. Teks selalu dipikirkan sebagai sesuatu yang utama (primary) atau sumber yang original atau asli, sementara tekstual / tekstualitas adalah aspek dari teks yang merupakan kondisi dari yang lain atau yang secondary. Sebuah contoh dari kondisi otherness adalah trace. Jika arsitektur adalah kehadiran - metaphor seperti rumah dan tempat tinggal : batu bata dan semen, fondasi dan atap, membuktikan perannya untuk mendefinisikan apa yang kita lihat sebagai kenyataan. Sangat jelas perubahan pada konsep kehidupan kesehariaan harus memiliki efek pada arsitektur.

Hal ini tidak dikarenakan paradigma mekanika, dulunya The Sine Qua Non dari Arsitektur. Arsitektur adalah manivestasi yang paling visible dari tekanan alam seperti gravitasi dan cuaca dengan metode mekanika. Arsitektur tidak saja menunjukkan grafitasi, akan tetapi juga monumen masa depan, yang diinterpretasikan oleh nilai-nilai dari masyarakat yang ditempatkan pada visinya.

Konsep tradisional dari Sight (kemampuan untuk melihat / dilihat Arsitektur) pada paradigma elektronik dipertanyakan. Media telah memperkenalkan ambiguitas yang fundamental dalam bagaimana & apa yang kita lihat. Shight adalah pemahaman tradisional dari Visi. Visi berarti juga karakteristik yang khas dari shight yang mengandung arti melihat untuk berpikir (seeing to thinking), mata pada pikiran. materialitas,batu bata dan semen – kemudian yang lainnya adalah trace dari kehadiran yang absensia. Trace tidak pernah dapat originalkarena trace selalu menyarankan kemungkinkan dari sesuatu yang lain daripada yang asli. Dalam semua text ada potensi trace dari otherness, aspek dari struktur yang dikekang oleh kehadiran (presence). Jika kehadiran tetap dominan contohnya : singular tidak ada textualitas. Oleh karena itu kondisi seperti di atas dari trace membutuhkan paling tidak dua teks (two texts). Aspek kedua dari arsitektur yang lain adalah sesuatu yang bisa disebut twoness. Ada banyaktwoness yang exis di dalam arsitektur tradisional; The twoness dari bentuk (form) dan fungsi (function), kemudian twoness dari struktur dan ornamen. Tetapi itu terlihat secara tradisional sebagai kategori yang hirarkis; satu selalu terlihat dominan atau original dan yang lain sebagai secondary (form follows function, ornament is added to structure) twoness memberikan saran sebuah kondisi di mana tidak ada dominasi tak lebih sebagai sebuah struktur yang ekuivalen. Di mana ada ketidakpastian daripada hirarki, jika salah satu text terlihat dominan tidak ada perpindahan. Kondisi dari ketiga dari arsitektur adalah di antara (betweness), yang menunjukkan obyek sebagai sebuah image yang lemah.

Apapun stylenya, space / ruang adalah terdiri dari sebuah bangunan yang dipahami, teroganisir oleh elemen-elemen spasial seperti axis, tempat (place), symetris, dan lain lain.

Perspektif sesuatu yang fatal di dalam arsitektur dibandingkan dengan melukis karena kebutuhan-kebutuhan yang hakiki pada mata & tubuh untuk mengorientasikan dirinya dalam ruang arsitektural melalui proses perspektif yang rasional. Perspektif menjadi alat,anthropocentric di mana pandangan mengkristal dalam arsitektur.

Bru Projection system dari Brunelleschi’s dalam essay berjudul Scopic Regimes Of Modernity Martin Jay mencatat bahwa : “…Baroque visual experience has a strongly tactile or haptic quality, which prevents it from turning into the absolute ocular centrism of its Cartesian perspectivalist rival.”

Norman Bryson dalam artikelnya “The Gaze in the Expanded Field.” Memperkenalkan ide tentang gaze (le regard) untuk melihat ke belakang pada yang lain. Boleh dikatakan bahwa arsitektur tidak pernah puas melalui problematika tentang visi karena tetap di dalam konsep subyek & keempat dinding arsitektur, tidak seperti disiplin lainnya, mengkongkretkan visi. Hirarki yang inheren dalam ruang arsitektural dimulai sebagai sebuah struktur untuk mata pemikiran.

Hal ini mungkin ide dari interioritas sebagai sebuah hirarki antara dalam dan luar menyebabkan arsitektur mengkonsepsikan dirinya lebih nyaman dan konservatif dalam visi.

Visi dapat didefinisikan sebagai suatu jalan yang essensial untuk mengorganisir ruang dan elemen-elemen di dalam ruang. Ini adalah jalan untuk melihat kepada dan mendefinisikan hubungan antara sebuah subyek & sebuah obyek. Jadi jika kita asumsikan saat ini arsitektur dapat dikonsepkan sebagai sebuah Moebius strip, dengan kontinuitas yang tidak terputus antara interior dan exterior. Apa artinya ini untuk visi? Gilles Deleuze mengusulkan sesuatu yang mungkin dari kontinuitas dengan idenya tentang lipatan (fold). Bagi Deleuze, ruang yang terlipat mengartikulasikan sebuah hubungan baru antara vertikal horizontalfigure dan groundinsidedan out – semua struktur diartikulasikan dengan vision tradisional. Tidak seperti ruang pada visi klasik (classical vision), ide dari lipatan ruang (folded space) membohongi susunan dalam keteraturan modulasi temporal (temporal modulation). Lipatan tidak lagi privileges mendapatkan keistimewaan pada proyeksi planimetrik (planimetric projection), sebagai alternatif adalah suatuvariable curvature, idea Deluze tentang lipatan (folding) lebih radikal daripada origami, karena tidak mengandung naratif, linear sequence; seperti pada visi tradisional, lipatan ini mengandung sebuah kualitas yang tidak terlihat.

Lipatan telah merubah visi tradisional tentang ruang, Dapat dikatakan efektif, fungsinya, menaunginya, sangat berarti, membingkaikan, dan itu adalah keindahan (aesthetic). Folding juga terdiri dari sebuah gerakan dari ruang effektif ke ruang Affektif. Folding bukan subyek lain dari expresionisme, suatu pencampuran, tetapi unfolds di dalam dan berdampingan dengan fungsi-fungsinya sekaligus di dalam ruang.

Study kasus1:

Perancangan Monumen Lonsum, Sei Merah, Medan, 2007
Geometry yang ditawarkan adalah lipatan (folding) dari sebuah media yang datar seperti kertas. Lipatan-lipatan tersebut merupakan transformasi dari diagram historis sejak berdirinya perusahaan tersebut hingga seratus tahun. Distribusi programming ke dalam seluruh bidang yang diartikulasikan secara menyeluruh menghasilkan twoness baik dari sisi fungsi dan bentuk (form).



Lipatan-lipatan yang kemudian menjulang menegaskan adanya grotexque dalam lingkungan alam, hal ini menghasilkan kontras dengan lingkungan di sekitarnya, sebagai obyek arsitektur monumen, kekontrasan dengan alam ini memberikan efek pengejut (surprised) bagi orang yang akan mengunjungi monumen ini.

               Dari hasil survey lokasi di kawasan perkebunan kelapa sawit di Sei Merah menunjukkan banyak sekali anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan yang memadai sehingga ide rancangan monumen ini secara visi fungsionalnya diarahkan menjadi edukatorium bagi kawasan botanical garden. Gubahan geometrinya pertama kali dilakukan dengan pembacaan formasi pepohonan di area perkebunan terutama di site yang spesifik, sehingga ditemukan grid kelapa sawit berdimensi sebelas meter kali sebelas meter, dari hasil pembacaan ini kita bisa mendapatkan beberapa garis - garis baru yang tidak bersinggungan dengan grid dari site. Atau boleh dikatakan garis-garis imaginer penetralisir pola dasar dari suatu site. Transformasi program dan diagram menjadikan arsitektur menawarkan berbagai pengalaman ruang yang spesifik pada akhirnya bangunan ini tidak sekedar hanya sebagai tugu peringatan tetapi sebagai alat (device) bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Ruang publik yang didesain untuk mampu menampung berbagai kegiatan edukasi petualangan (adventure education), pendidikan lingkungan (environment education). Arsitektur hijau dalam proyek ini yang sesungguhnya ditunjukkan dari programnya yang tanggap pada situasi sosial masyarakat setempat, sehingga kebutuhan pendidikan pada masyarakat sekitarnya dapat ditampung dalam rancangan monumen experimental ini. Lipatan-lipatan yang kemudian muncul digabungkan dengan beberapa program yang disebarkan ke seluruh monumen, kemudian menghasilkan ruang-ruang publik dengan kualitas yang bermacam-macam. Dengan perencanaan kawasan yang mengarah pada eco-planning, sekaligus bangunan monumen dengan atap yang hampir seluruhnya diselimuti rumput (roof garden). Lingkaran terluar dari kawasan ini dalam perencanaannya dibuat sekumpulan tanaman bunga yang dapat menarik perhatian bagi tenaman pemakan pohon sawit. Jadi interpretasi dari ecological friendly ditunjukan dengan consep diversifikasi tanaman yang saling menguntungkan.


           Dari tulisan di atas dapat dikatakan bahwa aspek sosial budaya di lingkungan setempat memiliki andil yang besar dalam menentukan tipe dan sistem material yang digunakan. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi para arsitek, sekaligus kepedulian pada hal-hal yang remeh di sekitar kita. Lokalitas dari suatu tempat, baik kepandaian, material, cuaca dan keadaan lingkungan sosialnya harus menjadi aset yang spesifik dalam mengajukan desain yang baik.

Study kasus 2: Perancangan Rumah Kindah Office, Lenteng Agung Jakarta. (2007 – 2008)

Strategi lipatan (folding) dari bentuk site yang spesifik dan dikombinasikan dengan sobekan ternyata tanpa disadari juga mengandung twoness struktur dan ornamen. Sobekan-sobekan yang kemudian diartikulasikan sebagai jendela kaca merupakan ornamen yang melekat pada strukturnya. Meskipun hal ini tidak disadari sejak awal saat melakukan proses mendesain.

Kantor ini dirancang agar pada masa depan menjadi salah satu kantor paperless (tanpa kertas) di Jakarta, meskipun luas lahannya tidak terlalu luas sekitar 500 m2. Kebutuhan program fungsional dari klien disusun dan dihitung secara tiga dimensional, kira-kira membutuhkan 1860 m3 volume ruang, sehingga dari sini kita dengan mudah dapat menyusun seluruh program fungsionalnya secara tiga dimensional tanpa pernah terbelenggu oleh aspek dua dimensional ruangnya. Proses perancangannya dilakukan dengan melakukan proses melipat kertas seukuran site, dengan mengacu kepada garis-garis yang ada di dalam site. Namun kita mencoba memaksimalkan lahan tersebut, pada sisi depan / arah barat bangunan ini selain terletak jalan raya depok juga rel kereta api yang menghubungkan antara Jakarta Selatan dan Universitas Indonesia di wilayah yang lebih suburban sehingga kemacetan kendaraan dan kebisingan mobil dan kereta api berlangsung pada setiap pagi dan sore bersamaan dengan jam kerja kantor maupun kuliah. Untuk itu bangunan ini dirancang sangat spesifik mengantisipasi kebisingan ini, dengan metode lipatan kertas dari ukuran sitenya. Bangunan kantor ini dibuat introvert, dan lebih terbuka kearah dalam seperti courtyard. Ruangan-ruangan dengan computer diantisipasi untuk dibuat tertutup sisanya dibuat terbuka ke arah dalam sehingga bangunan ini menerapkan efisiensi penggunaan cahaya, karena setiap siang hari hampir semuanya tidak memerlukan lampu, dan hanya area dengan komputer saja yang tertutup yang menggunakan AC. Dinding dari material beton yang tebal dengan insulasi di dalamnya sekaligus menjadi sound barrier dalam mengantisipasi kebisingan.


Wednesday, July 15, 2009

Net Gener dan Visi baru berarsitektur

pubished by Laras magazine June 2009

Dapatkah arsitektur memberikan kontribusi yang signifikan pada kota? Yang didasarkan atas toleransi maupun negosiasi? Dengan melakukan study tentang beberapa fenomena yang terjadi dalam budaya meng-kota kita, seorang arsitek dituntut untuk mengkonstruksi pemikiran, merangkum beberapa disiplin (psikolog, sosiolog, antropolog, aktivis sosial dst.) untuk memberikan masukan yang komprehensif bagi perbaikan masa depan kota kita. Terlebih lagi di saat kondisi perekonomian dunia yang memburuk, ditengah keadaan politik yang kurang menentu, pada saat yang sama dunia dihadapkan pada isu –isu lingkungan terkini; tentang pemanasan global, ekologi yang terpuruk, densitas urbanitas dan kemiskinan, kita harus bersiap diri menghadapi katastropi di depan mata; banyak arsitek yang berperilaku oportunis yang mengabaikan semua hal di atas yang telah mengubah peran arsitek sebagai servis provider saja, penyedia layanan jasa perancangan semata. Saya sangat tertarik pada fenomena-fenomena baru dalam kehidupan berkota kita karena kemajuan teknologi komunikasi, dan sekaligus mengalami sendiri gelombang globalisasi 3.0

Mampukah arsitek berperan lebih besar dalam agenda-agenda baru perubahan yang melebihi domain arsitektur? Yang memiliki visi jauh ke depan? Di dunia tempat kita berpijak hanya membutuhkan telepon genggam berkamera untuk menunjukan kondisi di sekitar kita, seorang individu telah berubah peran menjadi kontributor dan kreator. YouTube adalah contoh kombinasi internet-TV yang memudahkan kita untuk mempublikasikan, memutar, dan berbagi klip video di Web. You Tube menyediakan beragam film independen, video amatir, maupun bajakan, lingkungan inilah yang menjadikan ladang subur bagi lahirnya Net Gener; generasi yang sangat mengagungkan keterhubungan, networks yang melewati batas-batas Negara, geografis maupun bahasa. Dengan begitu seluruh fenomena perkembangan urban, perubahan iklim, konstelasi politik, maupun penemuan-penemuan baru dapat didokumentasikan dianalisa dan dijadikan dasar-dasar bagi penelitian lanjutan. Seperti dunia yang berputar lebih cepat, kita berkomunikasi makin mudah dan makin cepat dan makin bergairah lagi, sebentar lagi 4G hadir di depan kita.

Net Gener telah merubah cara kita berpikir maupun berinteraksi, dari sisi studio kerja, kita telah membebaskan seluruh tim untuk memanfaatkan teknologi komunikasi secara bebas bertanggungjawab menciptakan relasi yang non-hirarki. Hal ini telah mendorong kreatifitas ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih cepat dari sepuluh tahun lalu ketika wabah internet sedang dimulai. Dengan mendudukan seluruh tim selaku kolaborator yang handal diharapkan mampu mengelola jutaan informasi yang ada. Facebook telah melucuti pakaian kita, meskipun kita belum menjadi member-pun foto kita bisa dengan mudah terdistribusikan, “Welcome to the Net Generation!” Komunikasi lewat skype, dan keterhubungan dengan push mail  lewat blackberry telah merubah pola dalam manajemen desain dan eksekusi secara lintas benua maupun lintas negara. Begitu juga definisi tentang ruang semakin hari mengalami perubahan. Akan tetapi keterhubungan yang memperpendek jarak New York-Jakarta maupun Tokyo-Jogja, dan seterusnya harus juga diantisipasi sisi buruknya terutama distribusi image yang mudah, copy paste visual, kita perlu menghargai keunikan individu, kearifan lokal, perhatian pada spirit lokal, serta memahami pluralitas baru, seperti yang sudah saya dengungkan berulangkali tentang fenomena GLOCAL, global-lokal. Bagi saya lokalitas adalah energi paling krusial dalam tarik menarik kepentingan globalisasi dan penyeragaman cita rasa dunia.

Dengan lautan data disekitar kita, ide kita jadi makin banyak bahkan kadang-kadang kitapun bisa memanfaatkan data menjadi ide bentuk / data driven form. Dari sisi teknologi material yang juga berkembang pesat telah banyak menjerumuskan arsitek menjadi sekedar pengabdi pada arsitektur generik tanpa jiwa. Hingga disekitar kita tumbuh ribuan ruko tanpa arsitektur, tanpa jiwa.

Mungkin saya harus percaya pada Rem Koolhaas yang pernah menyebutkan bahwa “Architecture is hazardous mixture of omnipotence & impotence” Mengapa? Karena secara intensif turut serta dalam membentuk dunia, tapi pemikirannya sangat bergantung kepada provokasi klien-klien lain, individu-individu maupun institusi-institusi yang sarat kepentingan kepentingan tertentu baik itu politis maupun kapitalistik, jadi arsitektur adalah paduan potensi besar sekaligus impoten karena tidak semua gagasannya dapat dipenuhi seratus persen, negosiasi negosiasi inilah harus dicermati sebagai sebuah dinamika.

Setelah sepuluh tahun berkiprah di dunia praktek arsitektur (1995-2005) ditandai dengan pameran tunggal ‘Secondary skin’, saya mulai memasuki fase 10 tahun pencarian yang kedua 2005-2015, dimana fase berbagi bagi dunia dilakukan dengan berbagai public lecture dan pameran internasional, workshop-workshop, untuk mengemukakan fenomena-fenomena kehidupan ber-kota, sekaligus mendefinisikan terus menerus institusi budipradono architects [BPA]. Saat ini BPA telah bermetamorfosa menjadi institusi riset arsitektur maupun desain urban, dan telah meningkatkan spektrum pencarian arsitekturnya ke dalam domain yang lebih besar baik dari sisi skala maupun jarak. Program-program baru dipertanyakan kembali, material-material baru diujicoba lagi, tipologi-tipologi fungsional yang sudah umum kembali digugat demi menemukan rancangan yang lebih sustainable dan sekaligus menjawab tantangan Net Gen yang membutuhkan arsitektur yang lebih khusus lagi, lifestyle yang khas generasi ini. Metode –metode perancangan arsitektur dicoba terus menerus seperti strategi digraming dan programming, braids, papyroflexi, origami, dll dengan serangkaian riset yang terukur. Kita tidak pernah lelah maju berperang, aktif mengikuti kompetisi internasional sebagai alat uji. Seberapa hebatkah kosep berpikir kita? BPA menjadi seperti laboratorium, tempat dimana oase berpikir dibebaskan, dipertanyakan dan dilahirkan kembali dalam konsep-konsep kontemporer yang segar. BPA juga sudah melewati batas geografis dalam menjalin kolaborasi yang konstruktif baik di Italy, Jerman, Swiss, Jepang, Hongkong, Singapura, dan Amerika.

BPA anti kemapanan konsep dan ingin menjadikan experimen arsitektur yang mungkin useless, maupun formless sebagai salah satu media pembebasan. Experimen ini kelebihannya selalu open ended, dan percaya pada apa yang diungkapkan Worlf Prix bahwa experimentasi dalam arsitektur akan membuka pikiran, membuka mata & hati. Sekaligus menghidupkan kembali tradisi yang sudah lama yang tidak bertujuan untuk memproduksi ‘blue print’ untuk bangunan. Yang dapat dibangun begitu saja. Ada sejarah besar tentang pekerjaan spekulatif, desain yang visioner, utopian major yang dystopian. Konstruksi-konstruksi fragmentasi, direct action & produksi kerja seperti instalasi yang dimensi arsistiknya dari sebuah karya seni tidak bergantung pada bentuk fisiknya saja tapi eksis jika conscionsness dari seorang yang mengalaminya. Proyek-proyek experimen ini banyak berbentuk instalasi sperti Engklek pavilion di Inggris, Frangipani pavilion di Bergen, Norwegia, maupun instalasi bambu runcing di Semanggi expo, Jakarta. Sementara itu explorasi material telah dilakukan mulai dari tanah liat, beton, kaca, resin, acrylic, bambu, kayu, GRC, kaca, rumput, pasir, plastik, dan masih banyak lagi. Dalam kerangka evolusi kota interpretasi arsitektur dan urbanisme kontemporer seharusnya bisa menjadi DEVICE (Alat pemberdayaan) bagi pembangunan yang berkelanjutan. Konsekuensi dasar arsitektur sebagai alat pemberdayaan berarti juga produk arsitekturnya dapat dipahami sebagai “instrumen” dari hasil observasinya, sebagai penyambung lidah transaksi urbanitas, sebagai “fasilitator” pembangunan dengan agenda agenda yang lebih besar lagi tidak sebatas Indonesia saja, atau kota-kota kita, tapi juga kota-kota lain di dunia ini dimana batas-batas suatu Negara semakin kabur. Mari kita bangun kota dunia dengan kreatifitas, sensitifitas dan kolaborasi masal. 

Budi Pradono

 

AA House by Budi Pradono

AA House, Cilitan, East Jakarta, design 2006-2007, construction 2007-2008

The programmatic negotiation underlies the evolutionary designing process of the house located Cipinang, East Jakarta. The three dimensional space must be flexible in that it can be freed sometimes and re-fragmented as needed.


This programmatic negotiation will best work with several partition articulations. And so, sliding glass doors, and massive walls are carefully selected to create the synergy in the inter space relation

.
A void in the center of the building becomes a mediator, which separates but at the same time also combines various space programs. The smooth relation between the spaces the void creates makes the rigid inter space borders relative. Finally, the shape/façade of the building is the result of the programmatic distribution process.

AhmettSalina House by Budi Pradono




Ahmett Salina House and studio, design 2005 construction 2005-2007, completed 2007


The Clients are spouses of graphic designers in need of a home and an office at the same time (SOHO/Small Office Home Office). Hence, the dialog between the domestic area and working area is the most essential part.

To preserve the privacy of the domestic area, zoning is executed vertically and horizontally. Vertically, the ground floor becomes the working area/design studio whereas the upper floor becomes the house.

An opening at the back of the site becomes a private area for the occupants, while the public area is located at the front of the site. This zoning accounts for the genuine condition of the area, a vacant land children used to play soccer in. To preserve the spirit, the Building Embankment is drawn back about 8 meters to create a public area in the front yard. Social functions and academic events such as graphic community discussions can be held there.

In addition to the clear zoning, the façade is also an essential part of the communication device to communicate with the surrounding neighborhood. Conceptually, “pores” are the secondary skin of the building, in which having “pores” means that the building can breathe. Bamboo is chosen as the primary material for its sensitivity to climate. The bamboo is installed by staking one onto another, with no nails used, because it will hold on stronger and leave no jointing marks. The area between the secondary skin and the façade of the building can be used as a verandah and smoking area. Structurally, this building is an urban infill. A steel structure is used to speed up the working process and exploit neighbors’ sidewalls on the left side of the building.



 


Frangipani Pavilion by budi pradono

Pavilion Indonesia pada Internasional Wood Festival, Bergen, Norwegia.

published in Laras magazine, December 2006

Glocal

Tahun 2006 kami berusaha mengimplementasikan konsep glocal (Global-lokal) sebagai usaha untuk meningkatkan kreativitas kita. Salah satunya selain mengikuti beberapa kompetisi internasional juga mengikuti beberapa pameran. Selain berpameran pada markas Royal institute British Architects (RIBA) di London hingga February 2006 atas undangan The Architectural Review, pada bulan Mei mengikuti dua acara yang hampir bersamaan waktunya yaitu pameran di Sofia, Bulgaria dalam acara INTERARCH, Triennale Architecture dan mendapatkan penghargaan Silver medal dari UIA, dilanjutkan dengan implementasi Frangipani pada pameran International Wood Festival di kota Bergen, Norwegia atas undangan dari pemerintah setempat. Pada akhir tahun ini dua pameran berikutnya akan digelar di Praha, Czech Republic, dan Stockholm di Swedia. Sementara proyek lokal yang dikerjakan di Indonesia meliputi di Lombok, Bali, Medan, Solo, Bandung dan Jakarta. Lokalitas bagi saya tidak hanya sebatas pada material dan tenaga kerja tapi juga pada tatanan konsep. Dalam globalisasi perpindahan teknologi, pemikiran maupun barang tidak lagi dibatasi oleh waktu. Tarik menarik ini menjadi satu hal yang harus diperhatikan, karena akan terjadi percepatan pemahaman dan pemikiran masyarakat. Tugas arsitek sebagai agen perubahan lantas harus ditunjukkan dengan karya yang berisi dengan konsep dan pemikiran tidak sebatas kulit luarnya saja. Saya ingin merubah persepsi barat tentang Indonesia yang selalu berkonotasi ukir-ukiran, tradisional vernacular menjadi Indonesia baru yang moderen, maju dan kontemporer. Tulisan ini hanyalah berupa catatan kecil dari sebuah lawatan di Eropa bukan untuk melakukan studi banding, tapi untuk berkarya, dan berinteraksi dengan masyarakat Eropa yang menjadi bagian dari the Fortress Europe.

Diagram

Proyek ini merupakan salah satu usaha untuk mengimplementasikan diagram yang abstrak atau sering disebut abstract machine atau virtual multiplicity oleh ahli filsafat Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Usaha ini diharapkan dapat menghasilkan arsitektur baru yang berbeda dari yang sudah ada. Riset awalnya dimulai dengan melakukan pengukuran ulang pada beberapa sampel pohon Kamboja mulai dari batangnya yang besar sampai ujung pencabangannya yang kecil di ujung. Dari sana dapat diperoleh beberapa diagram yaitu diagram diameter batang, diagram panjang batang, diagram sudut pencabangannya. Riset ini selain digambar ulang juga dibuat maket dalam skala 1: 50 sampai mock up skala satu banding satu.

Dari sini kita peroleh bahwa pohon Kamboja secara umum terbagi dalam tiga bagian utama; yaitu bagian bawah dengan panjang batang antara 10a -20a dan sudut kemiringan 120° – 150°; bagian tengah batang dengan panjang antara 5a-10a dan sudut kemiringan batang 60°– 120°: pada bagian atas panjang batang antara 5a – a dengan sudut kemiringan batang antara 30°- 60°. Abstract diagram ini kita implementasikan pada beberapa proyek dengan beberapa skala yang berbeda; Misalnya sebuah bale-bale tradisional, sebuah meja, kanopi maupun struktur. Frangipani adalah kata lain dari kamboja. Kita kemudian memberikan beberapa nama proyek yaitu Frangipani pavilion (implementasi di Bergen_Norwegia), Frangipani table, Frangipani Bale dan Frangipani Canopy (diimplementasikan di Bali)

Bentuk Dasar

Implementasi dalam Pavilion ini menggunakan bentuk geometri sederhana dari bifurkasi yang diperoleh dari diagram pada frangipani tersebut diatas. Diagram percabangan yang diimplementasikan pada kayu yang disediakan oleh pemerintah Norwegia dengan ukuran kira-kira 2 x 4 cm dengan panjang antara 4 -6 meter. Dipotong-potong dengan ukuran yang disesuaikan dengan diagram panjang batang frangipani, dan dipasang dengan sudut-sudut kemiringan yang sesuai dengan diagram sudut kemiringan frangipani, kemudian jika bentuk pohon ini disejajarkan satu dengan yang lainnya akan terbentuk ruang. Pada dasarnya karena bangunan ini dibuat di tengah taman Bergenhus maka segala bentuk transformasi harus menghasilkan ruang yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati pavilion ini. Pada mulanya bentuk dasarnya adalah jajaran genjang yang meruang namun mengingat beberapa kendala di lapangan bentuknyapun disederhanakan menjadi segitiga tidak sama sisi tiap sisinya merupakan rangkaian diagram frangipani dari kayu. Ruang segitiga tercipta ketika seluruh komponen sudah berdiri.

Bergen kota diantara 7 gunung

Kota Bergen yang indah ini dikelilingi oleh 7 gunung dengan sebutan de syvfiell dan merupakan gerbang utama menuju Fjords of Norway. Kota ini merupakan salah satu dari sembilan kota yang mendapat gelar European Capital of Culture di tahun 2000 lalu. Pemerintah daerah yang setiap tahun menyelenggarakan Bergen music festival tahun ini menyelenggarakan wood festival dengan mengundang beberapa arsitek atau seniman untuk mengajukan gagasan rancangan struktur kayu yang di bangun di tengah taman pada Bergenhus Fortress. Kompleks bangunan tersebut yang didirikan sekitar abad ke 13 oleh Olav Kyrre. Selama perang dunia ke dua (PD II) angkatan laut Jerman menggunakannya sebagai markas, sehingga kita bias menemukan bunker-bunker peninggalan PDII

Festival

Festival yang diselenggarakan pertama kali ini idenya dicetuskan oleh dekan dari Bergen National Academy of Fine Arts dimana festival musiknya sudah diselenggarakan setiap tahun. Setelah mendapat support dari kementrian kehutanan. Beberapa arsitek maupun seniman dari 18 negara berkumpul di salah satu Negara Scandinavia ini. Jumlah kayu yang disediakanpun cukup melimpah ruah, bahkan ketika acara usai pun kayunya masih tersisa 2 kontainer. Panitia di Norwegia tidak pernah lupa selalu menjamu kami tiap hari dengan Wine dan tentu saja berbagai masakan khas Salmon dan ikan Paus.

Saya mengucapkan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terealisirnya gagasan ini termasuk kedutaan Norwegia di Jakarta, maupun Ibu Retno Marsudi, Duta Besar Indonesia di Norwegia.

( Budi Pradono 2006)


Data Project:

Project Name: Frangipani Indonesia Pavilion

Architect: budi pradono architects

Design date: January-May 2006

Construction Date: May 2006

Client: City of Bergen, Bergen National Academy of Arts, Country Governor of Hordaland, Norwegia

Design Team: Budi Pradono, Gita Hartako Ong

Model maker: Daryanto

Mock up 1:1: Mudjianto

Project manager : Reini Mailisa (Jakarta)

Project coordinator: Stella Hutagalung (Norwegia)

Construction stage: Budi Pradono, Abar, Iron, Stella Hutagalung, & Hiswati