Wednesday, January 6, 2010

Ketika Tungku harus tetap menyala

Desa Sruweg, Kebumen, desember 2009









(bagian dari catatan perjalanan Java trip akhir 2009)

Dalam perjalanan darat lintas Jawa, saya merasakan betapa masalah lingkungan senyatanya dihadapi di depan mata, karena semuanya saling terkait seperti gurita hampir-hampir saya sesak napas untuk mulai mengurainya satu demi satu. Di daerah Sruweg, kabupaten Kebumen sepanjang jalan banyak kita temui bangunan-bangunan yang unik dengan tambahan atap yang menjulang, ternyata itu adalah perusahaan genteng skala kecil. Ciri-cirinya di depan rumah tersebut selalu terhampar tumpukan kayu sebagai kayu bakar untuk memproduksi ribuan atap genteng yang kita pakai di atap rumah kita sehari-hari. saya sempat menemui salah seorang pemiliknya yang masih muda bernama Ahmad Teguh. Sadarkah dia bahwa usahanya telah menghabiskan ribuan pohon di desanya, atau bahkan merambah ke desa-desa lain di sekitarnya? Ahmad teguh dengan polos menjawab bahwa ini sudah seperti lingkaran setan dalam satu bulan dia membutuhkan kira kira 5o kubik kayu bakar. bayangkan jika satu desa tersebut memiliki 1000 pabrik rumahan berarti ada sekitar 50.000 kubik kayu yang harus ditebang setiap bulan. jika ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun, bukankah mereka berperan serta dalam ketidakseimbangan alam, karena gundul lebih cepat? itu adalah matapencaharian mereka. Mereka butuh sekali teknologi kilen yang tidak membutuhkan kayu terlalu banyak. Atau sebaliknya mereka belum dibekali kesadaran untuk menanam 8 pohon setiap penebangan 1 pohon? Bagaimana juga dengan tanahnya? dari manakah tanah liat untuk membuat genteng? ternyata dari tanah-tanah subur sekitar desa Sruweg juga. bagaimana jika tanahnya habis juga? (budi pradono)

No comments:

Post a Comment