Friday, September 6, 2013

Kereta Tak Berpintu

Aku merasa tinggal dan bekerja di Jakarta seperti bermain catur, tiap kali rapat dengan seseorang di suatu tempat, aku harus memutar otak dan melakukan riset kecil mengenai tempat, jam berapa aku harus berangkat serta jam berapa aku harus kembali. Studio kerjaku berada di Bintaro, sebuah wilayah yang dulunya termasuk pinggiran Jakarta. Sekarang, setelah sekian lama, Bintaro menjadi sebuah kota satelit yang mandiri. Dengan berbagai fasilitasnya, aku merasa tidak perlu lagi menuju ke kota. Ada rumah sakit internasional. Ada mall yang lengkap, yang menyediakan gadget, peralatan elektronik, maupun toko buku yang lengkap. Tetapi, ketika aku harus memiliki janji bertemu dengan orang lain di Cikini, Jalan Sudirman, maupun Cawang, aku harus kembali bermain catur.

Emat minggu yang lalu, ketika aku pulang dari Sydney, entah apa yang mempengaruhi kala itu, aku ingin kembali mencoba menggunakan transportasi umum. Untuk menuju Galeri Nasional di bilangan Gambir, aku mencoba untuk naik kereta listrik Jabodetabek dari stasiun terdekat studioku di Pondok Ranji. Saat itu, kereta ekonomi menjadi pilihanku untuk berangkat mendekat arah kota. Aku sangat familiar dengan kereta ini, yang merupakan kereta bekas dari Jepang yang pernah aku gunakan sehari-hari semasa hidup di sana.

Bedanya, di Jepang, sudah memiliki budaya berkereta. Selain keretanya datang tepat waktu, yaitu datang setiap 3 menit, dan selalu dijaga oleh petugas JR yang sangat disiplin. Di dalamnya, para penumpang dari berbagai kalangan bisa menikmati kereta ini bersama-sama. Budaya berkereta ini juga digabungkan dengan budaya membaca yang tinggi. Dengan mudah, aku bisa mendapatkan buku komik manga secara cuma-cuma dari tempat penyimpanan tas, yang biasa berada di atas bangku penumpang. Belum lagi, kebiasaan untuk mengakses internet dari smartphone masing-masing penumpang. Tak heran, sempat terdengar budaya “komunikasi jempol” kala itu.

Lain Jepang, lain pula Jakarta. Kereta bekas dari Jepang itu sudah tak berpintu. Bahkan, tempat menggantungkan tangan pun sudah tidak ada. Aku coba menyusuri dari gerbong satu ke lainnya. Ini seperti kereta kelas kambing. Gerbong-gerbong ini bahkan sudah berevolusi menjadi rangkaian pasar kaget. Aku bisa menemukakan buah, sayur, jajanan, bahkan baterai handphone yang dijual di sana. Ini sangat multifungsi. Para penjual di dalam kereta adalah orang-orang yang sangat kreatif. Mereka mencoba menciptakan berbagai alat yang dapat memudahkan aksi mereka. Aku merasa perlu belajar banyak dengan mereka, mengenai bagaimana mereka membuat almari untuk berjualan segala keperluan tetek-bengek, mulai dari peniti, rokok, jarum pentul, spidol, hingga pulsa. Pada sisi bawah almari tersebut terpasang 4 buah roda lacker dari besi, sehingga mudah dibawa dari gerbong satu ke lainnya.





Selain mengangkut orang dari satu tempat ke tempat lain, ia juga bisa menjadi pasar, atau bahkan tempat bunuh diri yang mudah. Aku membacanya layaknya kota yang tanpa kontrol keamanan. Apakah ini kota yang beradab? Dengan menyediakan kereta tanpa pintu. Tiba-tiba, aku teringat dengan asuransi kesehatanku.




Aku sangat menikmati perjalanan ini. Hari itu memang kosong. Penumpangnya sangat sedikit. Aku berada pada waktu yang tepat. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Dari Bintaro-Pondok Ranji, hingga Tanah Abang hanya memerlukan waktu 20 menit saja. Perjalanan selanjutnya ke Galeri Nasional, aku lanjutkan dengan ojek tercinta. Dalam waktu 10 menit, aku sudah sampai tujuan. Ini berbeda sekali ketika dulu aku menggunakan mobil. Hampir 2 jam waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat tujuan. Sejak itu, aku kembali mencintai lagi naik kereta, di Jakarta.

Di waktu yang lain, aku belajar memilih waktu yang tidak tepat, ketika harus bertemu dengan orang lain di salah satu gedung di Kawasan MT Haryono, Tebet. Aku bersama tim studio, berenam, mengantri kereta di Stasiun Pondok Ranji jam 07.59 pagi, tentunya kami harus bangun dari pukul 6 pagi untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Yang ada hanyalah kereta commuter ber-AC dengan tarif yang sama, 2 ribu rupiah. Tetapi, kita gagal berangkat. Saking penuhnya orang, satu pun di antara kami tidak mampu menembus padatnya orang di depan pintu kereta. Kami baru terangkut pada kereta keempat, sekitar pukul 9 pagi. Dengan berdesak-desakan dan penuh peluh, kami akhirnya berhasil sampai di Stasiun Tanah Abang. Sesampainya di sana, masalah lain timbul. Kami tidak bisa keluar dari kereta karena penumpang berikutnya mendesak masuk ke dalam kereta. Ini membuat kami harus bersusah payah mengeluarkan diri dari kereta. Selain baju menjadi kusut, tas kerja pun jadi gepeng. Belum tuntas, make-up wajah para wanita pun juga ikut luntur. Masalah ketiga,  kami tidak bisa keluar melalui gedung utama stasiun. Kala kami berada di peron, kami mengalami serbuan orang turun dari gedung stasiun.



Inilah yang aku sebut dengan belum adanya budaya berkereta, sehingga tidak ada usaha mengantri maupun mengikuti aturan. Di antara penumpang, bahkan ada yang beradu mulut. “Hey! Dasar orang ngga ngikutin aturan! Tampangnya doank yang pakai dasi, tapi main sruduk seperti orang yang ngga sekolah”, teriak orang di sampingku.

Tidak ada seorang petugas pun yang mampu mengatur kekacauan ini. Mungkin para petugas PT KAI tidak cukup hanya mengikuti training oleh kantor, tetapi juga perlu juga diajak jalan-jalan ke kota yang dinilai bisa dijadikan panutan. Tidak perlu Paris atau Berlin, Singapura pun cukup memperlihatkan betapa ketertiban menjadi sebuah keharusan untuk maju. Bila kita lihat di Jakarta, loket menjadi target serbuan massa. Puluhan orang berbondong-bondong berebut menjadi pelanggan yang pertama dilayani. Tidak adakah satu orang pun yang memiliki inisiatif untuk membuat antrean menjadi lebih rapi?

Ini adalah potret masalah klasik di Jakarta, bahwa sarana transportasi publik tidak sebanding dengan kapasitas penggunanya. Mungkin, rancang bangun dari Stasiun Tanah Abang belum memenuhi hal yang paling dasar dari buku Neufert, yang membahas mengenai skala. Stasiun Tanah Abang seperti tidak mampu menampung jumlah penumpang yang datang dan pergi. Terdapat kesalahan program dalam perhitungan kapasitas, tentunya terlepas dari estetika. Alur orang yang lalu lalang tidak dikontrol dan kurang diperhatikan. Haruskah kita menyebrang rel? Bahkan, di luar negeri, entah itu Perancis, Jerman, atau Jepang, melintasi rel merupakan tindakan yang ilegal.  Tetapi, di tempat ini seperti tidak ada pilihan lain, selain menyebrang melewati rel kereta yang aktif.



Ini seperti kurangnya dasar yang kuat dari saat tahap perencanaan, yaitu ukuran skala megacity. Mungkin ini menjadi tugas rumah untuk gubernur baru Jakarta, Jokowi. Pertambahan populasi Jakarta tidak terdeteksi. Metode yang sangat manual dan tidak terintegrasi dengan sistem yang lain. Saya teringat saat saya mendapatkan KTP Jepang di Tokyo, maupun KTP sementara di Rotterdam. Saya diharuskan menjalani tes kesehatan dan semua tercatat di komputer, tanpa secarik kertas. Dengan sebuah akta kecil pengakuan atas kependudukan inilah aku bisa mendapatkan akses untuk kehidupan mendasar, contohnya untuk menyewa sebuah apartemen.

Kita sudah kebanyakan manusia. Jakarta sudah penuh. Jakarta sudah setara dengan Tokyo atau Shanghai secara jumlah penduduk, tetapi secara infrastruktur tertinggal 10 tahun. Belum lagi secara mental berkota,  kita ketinggalan sepuluh tahun lebih lama lagi. Rasanya, untuk apa jika kita punya DPR atau menteri yang sering studi banding ke luar negri, tetapi tidak pernah mencoba fasilitas infrastruktur ini di negeri sendiri. Ini sama saja tidak ada percepatan pembenahan secara terstruktur.

Aku bisa lihat sendiri pusat-pusat penghubung antar-dalam kota tidak mampu melayani banyaknya penumpang, contohnya Stasiun Bus Blok M, serta Stasiun Kereta Manggarai. Semuanya tidak terhubung. Disconnected. Jika aku merupakan pendatang dari Bogor dan turun di Manggarai, maka aku harus berjalan kaki untuk menemukan perhentian yang mampu mengangkut menuju penjuru lain di Jakarta.

Jakarta is disconnected city. Aku kira ini memang pantas diemban. Departemen Perhubungan harus mencoba jalur transportasi umum ini. Mereka harus mengalami sendiri kesulitan-kesulitan yang dialami masyarakat kebanyakan. Tak bisa rasanya membayangkan bila aku menjadi seorang commuter yang harus bangun jam lima pagi, mandi, beres-beres, makan pagi, kemudian naik ojek ke stasiun kereta terdekat. Belum selesai, perjalanan dilanjutkan dengan berdesakan-berjejalan selama dua jam di jalan dan dua jam lagi pulangnya. Layaknya Paris tahun 30 an yang belum bisa merasakan pentingnya kenyamanan angkutan publik. Para perencana kota juga banyak yang terpaku dengan buku-buku di masa kuliahnya dulu, tanpa pernah mencoba kenyataan di lapangan.

Bahkan kini, aku sangat bergantung pada ojek. Mas ojekku sayang… Mereka selalu standby di depan stasiun, kemudian dengan gesit membawa kita ke tempat tujuan dengan cara apapun. Tak jarang, cara cara yang kadang kurang beradab pun dilakukan. Melewati trotoar, melanggar lampu merah, menerabas mobil dari kiri dan seterusnya. Tapi, mereka lah yang selalu berjasa. Setidaknya, untuk membawaku tepat waktu hingga di tempat rapat selanjutnya.

Catatan Urbanisme
Budi Pradono

mid term review urban islands workshop at University of Sydney